Oleh: GUS AN'IM FATH
BAB VI Qoshor Dan Jama’
Hukum Qoshor
(meringkas) Sholat
Bagi seseorang
yang melakukan bepergian jauh, syariat memberi keringanan (rukhsah)
dalam tata cara pelaksanaan sholat, dengan memperbolehkan seorang musafir
melakukan peringkasan (qoshor) dalam sholat yang mempunyai empat
rakaat. Yakni sholat Dzuhur, Ashar dan
Isya', dan menurut konsensus (ijma') ulama, tidak diperbolehkan
meringkas sholat maghrib dan subuh.[1]
Secara terperinci hukum melaksana-kan qoshor dibedakan sebagai berikut:
1.
Jawaz (boleh).
Apabila perjalanan
sudah mencapai 84 Mil / 16 Farsakh atau 2 Marhalah / 80,640 Km (8
kilometer lebih 640 m), namun belum mencapai 3 Marhalah / 120, 960 Km (120
kilometer lebih 960 meter). Atau bagi mereka yang selalu bepergian di darat
maupun laut, baik mempunyai tempat tinggal ataupun tidak. Dalam jarak sekian
ini mereka semua sunah/ lebih baik tidak melakukan qoshor. [2]
2.
Lebih baik (Afdlol) melakukan qoshor.
Jika jarak tempuh
mencapai 3 marhalah atau lebih. [3]
3.
Wajib
Apabila waktu sholat tidak cukup
untuk digunakan kecuali dengan cara meringkas sholat (qoshor).[4]
Syarat Qoshor
Sholat
1.
Bepergian tidak
untuk bertujuan maksiat, yaitu yang mencakup bepergian wajib seperti untuk
membayar hutang, bepergian sunah seperti untuk menyambung persaudaraan, ataupun
bepergian yang mubah seperti dalam rangka berdagang. [5]
2.
Jarak yang akan
ditempuh minimal 2 marhalah / 16 farsakh (48 mil)/ 4 Barid/ perjalanan 2 hari.
Sedangkan dalam menentukan standar jarak menurut ukuran sekarang terdapat
beberapa pendapat :
v Al
Kurdi dalam kitab Tanwir al-Quluub juz. I hal. 172 Thoha Putra….80,
64 km (80 km lebih 640 m).
v Versi Al
Fiqh Al Islamy juz. I hal. 75….88, 704 km.
v Kalangan
Hanafiyah…..….....96 km.
v Mayoritas Ulama….119,9 km.
v Ahmad Husain Al Mishry…...94,5 km.
Kemudian, seorang
musafir diperkenankan melaksanakan qoshor setelah melewati batas desa
(pada desa yang ada batasnya) atau melewati bangunan atau perumahan penduduk.
Begitu pula batas akhir dia boleh menggunakan hak qoshor adalah ketika
dia pulang dan sampai pada batas-batas di atas atau sampai pada tempat tujuan
yang telah ia niati untuk dijadikan tempat mukim. [6]
3.
Sholat yang di-qoshor
adalah shalat ada' (sholat yang dikerjakan pada waktunya/ bukan qodlo')
atau sholat qodlo' yang terjadi dalam perjalanan. Sedangkan sholat qodlo' dari
rumah tidak boleh di-qoshor. [7]
4.
Niat qoshor sholat
saat takbiratul ihrom. Sedangkan niatnya seperti :
أُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ مَقْصُوْرَةً ِللهِ تَعَالَى
Atau bisa dengan niat seperti [8]:
أُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ
ِللهِ تَعَالَى
Niat di atas
diharuskan terjaga selama sholat berlangsung, dan seandainya terjadi keraguan
pada seseorang ketika sholat (semisal ragu-ragu qoshor ataukah
menyempurnakan, sudah melakukan niat qoshor ataukah belum dsb), maka
baginya diwajibkan untuk menyempurnakan sholat (itmam). [9]
5.
Tidak dilakukan
dengan cara mengikuti (bermakmum) kepada imam yang melaksanakan sholat itmam
(tidak meng-qoshor), baik imam tersebut berstatus musafir
ataukah muqim (tidak bepergian) atau pada imam yang masih diragukan
keadaan bepergiannya.
6.
Mengetahui tentang
diperbolehkannya melakukan sholat dengan cara qoshor. Bukan hanya
sekedar ikut tanpa mengetahui boleh dan tidaknya qoshor. [10]
7.
Dilaksanakan ketika masih
yakin dirinya (al-Qaasir) masih dalam keadaan bepergian. Sehingga ketika
di tengah-tengah sholat muncul keraguan atau bahkan yakin dirinya telah sampai
di daerah muqimnya (desanya) kembali, maka ia berkeharusan menyempurnakan
sholatnya. [11]
8.
Bepergian dengan
tujuan yang jelas (daerah/tempat tertentu). Sehingga seperti orang yang
kebingungan mencari tempat tujuan (al-Haim), orang yang pergi mencari
sesuatu yang tidak jelas tempatnya, dan sebagainya tidak diperkenankan untuk
meng-qoshor sholat. [12]
Mengumpulkan (Jama’) Sholat.
Bagi musafir yang memenuhi persyaratan dalam permasalahan qoshor
sholat, syariat juga memberi kemudahan lain untuk melakukan jama’ (mengumpulkan)
dua sholat, baik sholat yang sempurna (tammah) ataupun yang diringkas (maqshuroh).
Sedangkan sholat yang bisa dijama’ adalah sholat dhuhur dengan ashar dan
sholat maghrib dengan ‘isya’, baik cara pelaksanaannya di waktu sholat yang
pertama (jama’ taqdim), ataupun di waktu sholat yang ke dua (jama’
ta’khir). Namun dalam hal ini, musafir lebih utama melakukan sholat
sempurna, dibandingkan men-jama’ sholatnya. [13]
1.
Memulai dengan
sholat yang ada di waktu pertama, yakni melakukan sholat dhuhur dahulu sebelum ashar
dan maghrib sebelum ‘isya’.
2.
Niat jama' saat
melaksanakan sholat yang pertama, yakni waktu antara takbiratul ihrom sampai
salam. Akan tetapi meletakkan niat bersamaan dengan takbiratul ihrom itu lebih
utama. Sedangkan bila yang dijama' sholat dluhur dan ashar, niatnya seperti:
أُصَلِّي الظُّهْرَ مَجْمُوْعَةً فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Niat sholat kedua (ashar):
أُصَلِّي اَلْعَصْرَ مَجْمُوْعَةً فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
3.
Muwalah, yaitu melaksanakan sholat yang pertama dan yang kedua secara langsung,
tanpa ada pemisah yang lama. Sehingga jika ada pemisah yang lama, meskipun
karena uzdur seperti ketiduran, maka sholat yang kedua harus dilakukan pada
waktunya. Kecuali pemisah tersebut adalah hal-hal yang ada kaitannya dengan
kemaslahatan sholat, seperti melaksanakan wudlu/ tayamum, mendengarkan azdan,
iqamah dan lain-lain.
Menurut sebagian ulama, batasan waktu yang lama adalah waktu yang
mencukupi untuk digunakan mengerjakan sholat dua rakaat dengan tempo sedang.
4.
Dilaksanakan masih dalam masa perjalanan,
sampai melaksanakan sholat yang kedua (tidak disyaratkan sampai selesainya
sholat kedua).
5.
Kedua sholat yakin dilakukan pada waktu
sholat pertama, sehingga kalau pelaksaan sholat yang kedua ragu-ragu atau
bahkan yakin telah keluar dari waktu sholat pertama, maka hukum sholat dan
jama’nya batal.
Niat jama’ ta’khir didalam waktu
sholat yang awal (dluhur/ Isya’). Yaitu mulai masuknya waktu sholat yang awal,
sampai akhir waktu, sekira cukup digunakan untuk melakukan sholat yang pertama (cukup
dua rekaat bila sholat diqosor dan empat rekaat bila tidak diqosor). Sedangkan
dalam jamak ta’khir tidak disyaratkan tertib, muwalah dan niat pada sholat yang
awal, hanya saja ketiganya sunnah dilakukan.
Sholat jama’ dan qoshor sebab Sakit
Rukhshoh (keringanan) sholat tidak hanya
diperuntukkan bagi musafir saja, akan tetapi juga bagi orang yang sakit, sekira
terjadi masyaqoh (merasa berat) seandainya sholat dilakukan tanpa jama’
qoshor. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’nya,
Imam Syuyuti dan didukung oleh beberapa kalangan ulama’.
Contoh-Contoh praktis pelaksanaan Jama' dan Qoshor
Contoh 01. Santri LIrboyo mau pergi ke Jakarta dari
Lirboyo, setelah masuk waktu dhuhur.
Cara paling efektif adalah ia melakukan jama' taqdim di masjid
Al-Hasan. Sebab Masjid Al-Hasan tersebut terletak di luar wilayah desa Lirboyo
yaitu dukuh Cepiring desa Campurejo.
Contoh 02. Santri mengadakan perjalanan dari Banten
menuju Lirboyo, sampai di terminal Kediri masuk waktu Maghrib.
Cara yang efektif adalah melakukan shalat Jama' taqdim dan qoshor (untuk
Isya’), di Mushola Terminal Kediri sehingga ia bisa istirahat dengan tenang
sampai Subuh, tanpa meninggalkan kewajiban.
Contoh 03. Seorang mengalami sakit lumayan parah,
sehingga dalam kegiatan ibadahnya ia selalu butuh pembantu, seperti dalam hal
bersuci.
Cara paling ringan dalam merawatnya adalah shalat Dhuhur dan Ashar
dilakukan dengan cara jama' ta’khir dan qoshor. Hanya saja pelaksanaannya agak
diakhirkan, yaitu menjelang waktu Maghrib, sebentar kemudian setelah masuk
waktu Maghrib, dalam keadaan masih suci ia melaksanakan sholat Maghrib dan
Isya’, dengan jama' ta’khir dan qoshor (untuk Isya’). Cara ini paling ringan
sebab si sakit sangat dimungkinkan hanya butuh bersuci dua kali, yaitu menjelang
Maghrib dan Subuh. Sehingga sangat membantu bagi yang merawatnya.
[1].
An-Nawawi "Roudhoh al-Thalibien" Juz I hal. 389 al-Maktabah
al-Islami.
[2].
Imam Zakaria al-Anshori "Asna al-Matholib" Juz I hal. 238 dan hal.
247 Dar al-kutub al-Islami. Dalam qoshor sebelum mencapai 3 marhalah Imam al-
Mawardi menegaskan hukum makruh melakukannya.
[3] .
Ibid, hal. 247
[4] .
Syihabuddin ar-Romli "Nihayah al-Muhtaj" Juz II hal. 272 Dar al-Fikr.
[5].
Mahfudz at-Tarmasy "at Tarmasy" Juz III hal. 147 al-Mathba'ah
'al-Amirah as- Syarofiyah.
[6].
Ibid, hal. 156 dan hal. 161-164 dan jadwal ukuran dalam kitab “Fath al-Qadir”
[7]. Ibid, hal. 146.
[8].
Ibid, hal. 182
[9] .
Ibid, hal. 172
[10] .
Ibid, hal. 170
[11] .
Ibid, hal. 173
[12] .
Ibid, hal. 167
[13] .
Ibid, hal. 174-178
[14] .
Ibrohim al-Bajuri "al-Bajuri" Juz I hal. 206-208 Thoha Putra.
[15] .
Ibid, hal. 208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar