Berapa Nishab
Zakat Profesi?
Pertanyaan
Assalamualaikum,
Afwan ustadz ana mau
tanya kalau untuk masalah zakat profesi. Apa dasar hukumnya serta bagaimana
perhitungan nishabnya. Apakah dibayar tiap bulan(per gajian), atau tiap tahun.
Bagaimana dengan penghasilan di luar gaji, seperti lembur, dan tips juga masuk
hitungan.Juga dengannisabnya, berapa? Dan kalau misalkan penghasilannya kurang
dari segitu, apa kena zakat atau tidak?
Mohon jawabannya
Jazakumullah
Salam
nyeki
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Zakat profesi memang tidak dikenal di zaman Rasulullah SAW bahkan hingga masa berikutnya selama ratusan tahun. Bahkan kitab-kitab fiqih yang menjadi rujukan umat ini pun tidak mencantumkan bab zakat profesi di dalamnya.
Zakat profesi memang tidak dikenal di zaman Rasulullah SAW bahkan hingga masa berikutnya selama ratusan tahun. Bahkan kitab-kitab fiqih yang menjadi rujukan umat ini pun tidak mencantumkan bab zakat profesi di dalamnya.
Wacana zakat profesi itu merupakan ijtihad pada ulama
di masa kini yang nampaknya berangkat dari ijtihad yang cukup memiliki alasan
dan dasar yang juga cukup kuat.
Salah satunya adalah rasa keadilan seperti yang anda
utarakan tersebut. Harus diingat bahwa meski di zaman Rasulullah SAW telah ada
beragam profesi, namun kondisinya berbeda dengan zaman sekarang dari segi
penghasilan.
Dalam masalah ketentuan harta yang wajib dizakati,
memang ada perbedaan cara pandang di kalangan ulama. Ada kalangan yang
a. Argumen Penentang Zakat Profesi
Mereka mendasarkan pandangan bahwa masalah zakat
sepenuhnya masalah ubudiyah, sehingga segala macam bentuk aturan dan
ketentuannya hanya boleh dilakukan kalau ada petunjuk yang jelas dan tegas atau
contoh langsung dari Rasulullah SAW. Bila tidak ada, maka tidak perlu
membuat-buat.
Di antara mereka yang berada dalam pandangan seperti
ini adalah fuqaha kalangan zahiri seperti Ibnu Hazm dan lainnya dan juga jumhur
ulama. Kecuali mazhab hanafiyah yang memberikan keluwasan dalam kriteria harta
yang wajib dizakati.
Umumnya ulama hijaz dan termasuk juga Dr. Wahbah
Az-Zuhaily pun menolak keberadaan zakat profesi sebab zakat itu tidak pernah
dibahas oleh para ulama salaf sebelum ini. Umumnya kitab fiqih klasik memang
tidak mencantumkan adanya zakat profesi.
Apalagi di zaman Rasulullah dan salafus sholeh sudah
ada profesi-porfesi tertentu yang mendapatkan nafkah dalam bentuk gaji atau
honor. Namun tidak ada keterangan sama sekali tentang adanya ketentuan zakat
gaji atau profesi. Bagaimana mungkin sekarang ini ada dibuat-buat zakat
profesi.
b. Argumen Pendukung Zakat Profesi
Para pendukung zakat profesi tidak kalah kuatnya dalam
berhujjah. Misalnya mereka menjawab bahwa profesi dimasa lalu memang telah ada,
namun kondisi sosialnya bebeda dengan hari ini. Menurut para pendukung zakat
profesi, yang menjadi acuan dasarnya adalah kekayaan seseroang. Menurut analisa
mereka, orang-orang yang kaya dan memiliki harta saat itu masih terbatas
seputar para pedagang, petani dan peternak.
Ini berbeda dengan zaman sekarang, di mana tidak semua
pedagang itu kaya, bahkan umumnya peternak dan petani di negeri ini malah
rata-rata hidup miskin.
Sebaliknya, profesi orang-orang yang dahulu tidak
menghasilkan sesuatu yang berarti, kini menjadi profesi yang membuat mereka
menjadi kaya dengan harta berlimpah. Penghasilan mereka jauh melebihi para
pedagang, petani dan peternak dengan berpuluh kali bahkan ratusan kali. Padahal
secara teknis, apa yang mereka kerjakan jauh lebih simpel dan lebih ringan
dibanding keringat para petani dan peternak itu.
Inilah salah satu pemikiran yang mendasari ijtihad
para ulama hari ini untuk menetapkan zakat profesi yang intinya adalah azas
keadilan. Namun dengan tidak keluar dari mainframe zakat itu sendiri yang
filosofinya adalah menyisihkan harta orang kaya untuk orang miskin.
Yang berubah adalah fenomena masyarakatnya dan aturan
dasar zakatnya adalah tetap. Karena secara umum yang wajib mengeluarkan zakat
adalah mereka yang kaya dan telah memiliki kecukupan. Namun karena kriteria
orang kaya itu setiap zaman berubah, maka bisa saja penentuannya berubah sesuai
dengan fenomena sosialnya.
Di zaman itu, penghasilan yang cukup besar dan dapat
membuat seseorang menjadi kaya berbeda dengan zaman sekarang. Di antaranya
adalah berdagang, bertani dan beternak. Sebaliknya, di zaman sekarang ini
berdagang tidak otomatis membuat pelakunya menjadi kaya, sebagaimana juga
bertani dan beternak. Bahkan umumnya petani dan peternak di negeri kita ini
termasuk kelompok orang miskin yang hidupnya serba kekuarangan.
Sebaliknya, profesi-profesi tertentu yang dahulu sudah
ada, tapi dari sisi pemasukan, tidaklah merupakan kerja yang mendatangkan
materi besar. Dan di zaman sekarang ini terjadi perubahan, justru
profesi-profesi inilah yang mendatangkan sejumlah besar harta dalam waktu yang
singkat. Seperti dokter spesialis, arsitek, komputer programer, pengacara dan
sebagainya. Nilainya bisa ratusan kali lipat dari petani dan peternak miskin di
desa-desa.
Perubahan sosial inilah yang mendasari ijtihad para
ulama hari ini untuk melihat kembali cara pandang kita dalam menentukan:siapakah
orang kaya dan siapakah orang miskin?
Intinya zakat itu adalah mengumpulkan harta orang kaya
untuk diberikan pada orang miskin. Di zaman dahulu, orangkaya identik dengan
pedagang, petani dan peternak. Tapi di zaman sekarang ini, orang kaya adalah
para profesional yang bergaji besar. Zaman berubah namun prinsip zakat tidak
berubah. Yang berubah adalah realitas di masyarakat. Tapi intinya orang kaya
menyisihkan uangnya untuk orang miskin. Dan itu adalah intisari zakat.
Sehingga dalam keyakinan mereka, bila para ulama
terdahulu menyaksikan realita sosial di hari ini, mereka akan terlebih dahulu
menambahkan bab zakat profesi dalam kitab-kitab mereka.
Bila dikaitkan bahwa zakat berkaitan dengan masalah
ubudiyah, memang benar. Tapi ada wilayah yang tidak berubah secara prinsip dan
ada wilayah operasional yang harus selalu menyesuaikan diri dengan zaman.
Prinsip yang tidak berubah adalah kewajiban orang kaya
menyisihkan harta untuk orang miskin. Dan wajib adanya amil zakat dalam
penyelenggaraan zakat. Dan kententuan nisab dan haul dan seterusnya. Semuanya
adalah aturan `baku` yang didukung oleh nash yang kuat.
Tapi menentukan siapakah orang kaya dan dari kelompok
mana saja, harus melihat realitas masyarakat. Dan ketika ijtihad zakat profesi
digariskan, para ulama pun tidak semata-mata mengarang dan membuat-buat aturan
sendiri. Mereka pun menggunakan metodologi fikih yang baku dengan beragam qiyas
atas zakat yang sudah ditentukan sebelumnya.
Adanya perkembangan ijtihad justru harus disyukuri
karena dengan demikian agama ini tidak menjadi stagnan dan mati. Apalagi
metodologi ijtihad itu sudah ada sejak masa Rasulullah SAW dan telah
menunjukkan berbagai prestasinya dalam dunia Islam selama ini. Dan yang paling
penting, metode ijtihad itu terjamin dari hawa nafsu atau bid`ah yang
mengada-ada.
Pada hakikatnya, kitab-kitab fiqih karya para ulama
besar yang telah mengkodifikasi hukum-hukum Islam dari Al-Quran dan As-Sunnah
adalah hasil ijtihad yang gemilang yang menghiasi peradaban Islam sepanjang
sejarah. Semua aturan ibadah mulai dari wudhu`, shalat, puasa, haji dan zakat
yang kita pelajari tidak lain adalah ijtihad para ulama dalam memahami nash
Al-Quran dan As-Sunnah.
Kehidupan manusia sudah mengami banyak perubahan
besar. Dengan menggunakan pendekatan seperti itu, maka hanya petani gandum dan
kurma saja yang wajib bayar zakat, sedangkan petani jagung, palawija, padi dan
makanan pokok lainnya tidak perlu bayar zakat. Karena contoh yang ada hanya
pada kedua tumbuhan itu saja.
Sementara disisi lain ada kalangan yang melakukan
ijtihad dan penyesuaian sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka misalnya
mengqiyas antara beras dengan gandum sebagai sama-sama makanan pokok, sehingga
petani beras pun wajib mengeluarkan zakat.
Bahkan ada kalangan yang lebih jauh lagi dalam
melakukan qiyas, sehingga mereka mewajibkan petani apapun untuk mengeluarkan
zakat. Maka petani cengkeh, mangga, bunga-bungaan, kelapa atau tumbuhan hiasan
pun kena kewajiban untuk membayar zakat. Menurut mereka adalah sangat tidak
adil bila hanya petani gandunm dan kurma saja yang wajib zakat, sedangkan
mereka yang telah kaya raya karena menanam jenis tanaman lain yang bisa jadi
hasilnya jauh lebih besar, tidak terkena kewajiban zakat.
Di antara mereka yang berpendapat seperti ini antara
lain adalah Al-Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.
Dan ide munculnya zakat profesi kira-kira lahir dari
sistem pendekatan fiqih gaya Al-Hanafiyah ini, di mana mereka menyebutkan bahwa
kewajiban zakat adalah dari segala rizki yang telah Allah SWT berikan sehingga
membuat pemiliknya berkecukupan atau kaya.
Dan semua sudah sepakat bahwa orang kaya wajib
membayar zakat. Hanya saja menurut kalangan ini, begitu banyak terjadi
perubahan sosial dalam sejarah dan telah terjadi pergeseran besar dalam jenis usaha
yang melahirkan kekayaan.
Dahulu belum ada dokter spesialis, lawyer atau
konsultan yang cukup sekali datang bisa mendapatkan harta dalam jumlah besar
dan mengalir lancar ke koceknya. Misalnya seorang dokter spesialis yang
berpraktek hanya dalam hitungan menit, tapi honornya berjuta. Dibandingkan
dengan petani di kampung yang kehujanan dan kepanasan sedangkan hasilnya
pas-pasan bahkan sering nombok, maka alangkah sangat tidak adilnya agama ini,
bila si petani miskin wajib bayar zakat sedangkan dokter spesialis itu bebas
dari beban.
Karena itulah mereka kemudian merumuskan sebuah pos
baru yang pada dasarnya tidak melanggar ketentuan Allah SWT atas kewajiban
bayar zakat bagi orang kaya. Hanya saja sekarang ini perlu dirumuskan secara
cermat, siapakah orang yang bisa dibilang kaya itu. Dan para profesional itu
tentu berada pada urutan terdepan dalam hal kekayaan dibandingkan dengan orang
kaya secara tradisional yang dikenal di zaman dahulu. Untuk itu agar mereka ini
juga wajib mengeluarkan zakat, maka pos zakat mereka itu disebut dengan zakat
profesi.
Dan bila dirunut ke belakang, sebenarnya zakat profesi
ini bukanlah hal yang sama sekali baru, karena ada banyak kalangan salaf yang
pernah menyebutkannya di masa lalu meski tidak/ belum populer seperti di masa
kini.
Namun begitulah, kita tahu bahwa di dalam tubuh umat
ini memang ada khilaf dalam cara pandang terhadap masalah zakat, sehingga ada
yang mendukung zakat profesi di satu pihak karena lebih logis dan nalar dan di
pihak lain menentangnya karena dianggap tidak ada masyru`iyahnya.
Kriteria Yang Wajib Dizakatkan
Yang termasuk dalam zakat profesi menurut para
pendukungnya adalah semua pemasukan dari hasil kerja dan usaha. Bentuknya bisa
berbentuk gaji, upah, honor, insentif, mukafaah, persen dan sebagainya. Baik
sifatnya tetap dan rutin atau bersifat temporal atau sesekali.
1. Penghasilan Kotor Atau Bersih
Namun bagaimanakah menghitung pengeluaran itu? Apakah
berdaasrkan pemasukan kotor ataukah setelah dipotong dengan kebutuhan pokok?
Dalam hal ini ada dua kutub pendapat. Sebagian mendukung tentang pengeluaran
dari pemasukan kotor dan sebagian lagi mendukung pengeluaran dari pemasukan
yang sudah bersih dipotong dengan segala hajat dasar kebutuhan hidup.
2. Jalan Tengah Qaradawi
Dalam kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
menyebutkan bahwa untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan terpenuhi
kebutuhannya serta memang memiliki uang berlebih, lebih bijaksana bila membayar
zakat dari penghasilan kotor sebelum dikurangi dengan kebutuhan pokok.
Misalnya seseorang bergaji 200 juta setahun, sedangkan
kebutuhan pokok anda perbulannya sekitar 2 juta atau setahun 24 juta. Maka
ketika menghitung pengeluaran zakat, hendaknya dari penghasilan kotor itu
dikalikan 2, 5%.
Namun masih menurut Al-Qaradhawi, bila anda termasuk
orang yang bergaji pas-pasan bahkan kurang memenuhi standar kehidupan, kalaupun
anda diwajibkan zakat, maka penghitungannya diambil dari penghasilan bersih
setelah dikurangi hutang dan kebutuhan pokok lainnya. Bila sisa penghasilan
anda itu jumlahnya mencapai nisab dalam setahun (Rp 1.300.000, -), barulah anda
wajib mengeluarkan zakat sebesr 2, 5% dari penghasilan bersih itu.
Nampaknya jalan tengah yang diambil Al-Qaradhawi ini
lumayan bijaksana, karena tidak memberatkan semua pihak. Dan masing-masing akan
merasakan keadilan dalam syariat Islam. Yang penghasilan pas-pasan, membayar
zakatnya tidak terlalu besr. Dan yang penghasilannya besar, wajar bila membayar
zakat lebih besar, toh semuanya akan kembali.
Kedua pendapat ini memiliki kelebihan dan kekuarangan.
Buat mereka yang pemasukannya kecil dan sumber penghidupannya hanya tergantung
dari situ, sedangkan tanggungannya lumayan besar, maka pendapat pertama lebih
sesuai untuknya.
Pendapat kedua lebih sesuai bagi mereka yang memiliki
banyak sumber penghasilan dan rata-rata tingkat pendapatannya besar sedangkan
tanggungan pokoknya tidak terlalu besar.
Nishab
Para ulama umumnya mengqiyaskan zakat profesi dengan
zakat tanaman. termasuk ketika mengqiyaskan nisab. Maka nishab zakat profesi
sesuai dengan zakat tanaman, yaitu setiap menerima panen atau penghasilan dan
besarnya adalah 5 wasaq atau setara dengan 652, 8 kg gabah
Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya
(dengan dikeluarkan zakatnya)…" (QS
Al-An`am 141 )
Rasulullah SAW bersabda:
`Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang kurang dari lima wasaq` (HR Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad jayyid)
`Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang kurang dari lima wasaq` (HR Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad jayyid)
Dan tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari lima
wasaq` (HR Muslim).
1 wasaq = 60 sha`, 1 sha` = 2, 176 kg, maka 5 wasaq =
5 x 60 x 2, 176 = 652, 8 kg gabah. Jika dijadikan beras sekitar 520 kg. Maka
nishab zakat profesi seharga dengan 520 kg beras. Yaitu sekitar Rp 1.300.000,
-.
Nishab ini adalah jumlah pemasukan dalam satu tahun.
Artinya bila penghasilan seseorang dikumpulkan dalam satu tahun bersih setelah
dipotong dengan kebutuhan pokok dan jumlahnya mencapai Rp 1.300.000, - maka dia
sudah wajib mengeluarkan zakat profesinya. Ini bila mengacu pada pendapat
pertama.
Dan bila mengacu kepada pendapat kedua, maka
penghasilannya itu dihitung secara kotor tanpa dikurangi dengan kebutuhan
pokoknya. Bila jumlahnya dalam setahun mencapai Rp 1.300.000, -, maka wajiblah
mengeluarkan zakat.
Waktu Membayarnya
Zakat profesi dibayarkan saat menerima pemasukan
karena diqiyaskan kepada zakat pertanian yaitu pada saat panen atau saat
menerima hasil.
Besarnya yang harus dikeluarkan
Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang.
Dari sisi ini, ia berbeda dengan hasil tanaman, dan lebih dekat dengan
`naqdain` (emas dan perak). Oleh sebab itu, para ulama menyebutkan bahwa kadar
zakat profesi yang dikeluarkan diqiyaskan berdasarkan zakat emas dan perak,
yaitu `rub`ul usyur` atau 2, 5% dari seluruh penghasilan kotor.
Nash yang menjelaskan kadar zakat `naqdaian` sebanyak
2, 5% adalah sabda Rasulullah SAW:
Bila engkau memiliki 20 dinar (emas) dan sudah
mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar (2, 5%)` (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Berikanlah zakat perak dari 40 dirham dikeluarkan satu
dirham. Tidak ada zakat pada 190 dirham (perak), dan jika telah mencapai 200
dirham maka dikeluarkan lima dirham` (HR Ashabus
Sunan).
Sehingga jadilah nishab zakat profesi 2, 5% dari hasil
kerja atau usaha.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar