بِسم الله الرَّحْمَن
الرَّحِيم
أَحْمَدُهُ عَلَى قَدِيمِ إِحْسَانِهِ
وَتَوَاتُرِ نِعَمِهِ حَمْدَ مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ مَوْلَاهُ الْكَرِيمَ عَلَّمَهُ مَا
لَمْ يَكُنْ يَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُهُ عَلَيْهِ عَظِيمًا وَأَسْأَلُهُ الْمَزِيدَ
مِنْ فَضْلِهِ , وَالشُّكْرَ عَلَى مَا تَفَضَّلَ بِهِ مِنْ نِعَمِهِ , إِنَّهُ ذُو
فَضْلٍ عَظِيمٍ , وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ وَنَبِيِّهِ
وَأَمِينِهِ عَلَى وَحْيِهِ وَعِبَادِهِ , صَلَاةً تَكُونُ لَهُ رِضًا , وَلَنَا بِهَا
مَغْفِرَةٌ , وَعَلَى آلِهِ أَجْمَعِينَ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا طَيِّبًا أَمَّا
بَعْدُ:
Sebagian
melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara
mutlak, sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan
uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat. Yang
menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya, pemilihan
pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika
sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama
menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadahan yang
mereka lakukan. Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi), padahal sudah ada dalil yang
tegas.
Uraian
ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan
pendapat tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya
untuk mewujudkan penjagaan terhadap sunah Nabi dan dalam rangka menerapkan
firman Allah, yang artinya, “Jika kalian berselisih pendapat
dalam masalah apa pun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian
adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.s.
An-Nisa’:59)
Allah
menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat,
maka setiap ada masalah, dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada
Alquran dan As-Sunnah. Siapa saja yang tidak
bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari
akhir.
.
Perselisihan ulama “zakat fitrah dengan uang”
Terdapat
dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitrah dengan uang). Pendapat
pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata
uang. Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang.
Permasalahannya kembali kepada status zakat fitri. Apakah status zakat
fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta
ataukah statusnya sebagai zakat badan?
Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur
pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan
tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang
senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak,
pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan
mata uang yang senilai.
Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini
sebagaimana zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur
pembayaran kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini
adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena
harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang telah ditetapkan, dan
tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan.
Jika seseorang membayar kafarah dengan selain
ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur
dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan
suami-istri di siang hari bulan Ramadan, tanpa alasan yang dibenarkan. Kafarah
untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan
berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan
sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar kafarah dengan
menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak menemukan budak. Demikian
pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak
berturut-turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir
miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana
yang ditetapkan.
Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)?
Sebagaimana
yang dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam
masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur
kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat
harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah
zakat badan –bukan zakat harta– adalah pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu
Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri.
Ibnu
Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, …
bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak
kecil maupun orang dewasa ….” (H.r. Muslim- shohih muslim. Maktabah syamila;984)
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، ح وحَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، - وَاللَّفْظُ لَهُ - قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللهِ بْنُ نُمَيْرٍ، وَأَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: «فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ
الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ
حُرٍّ، صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ»
Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri
(zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang
menggugurkan pahala puasa dan perbuatan atau ucapan jorok ….”(H.r.
Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh
Al-Albani)
Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri
berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa
alasannya:
1. Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta.
Terutama budak; seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat
fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama
sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
2. Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang
berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat
fitri berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.
Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana
kafarah?
1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan
yaitu bahan makanan.
2. Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk
menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri
tidak boleh diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya. (lihat fatkhul mu’in/ i’anatuttholibin . Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25:73)
Sebagai tambahan wacana, berikut ini kami sebutkan
perselisihan ulama dalam masalah ini.
Pendapat
yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang
Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul
Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah.
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau
mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”
Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan, “Aku
menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang
menunaikan zakat Ramadan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan
makanan.”
Diriwayatkan
dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).
Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang
Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh
mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan
makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang
berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam
Ahmad. Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah jika
membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan perkataan
mereka.
Perkataan
Imam Malik
Imam
Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata
uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al-Mudawwanah Syahnun)
Imam
Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut
pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad-Din Al-Khash)
Perkataan
Imam Asy-Syafi’i
Imam
Asy-Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut
pada tahun tersebut.” (Ad-Din Al-Khash)
Perkataan
Imam Ahmad
Al-Khiraqi
mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka
zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)
Abu
Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan
dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena
menyelisihi sunah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad;
dinukil dalam Al-Mughni,maktabah syamilah juz 3:87)
مَسْأَلَةٌ: قَالَ: (وَمَنْ أَعْطَى الْقِيمَةَ، لَمْ تُجْزِئْهُ)
قَالَ أَبُو دَاوُد قِيلَ لِأَحْمَدَ وَأَنَا أَسْمَعُ: أُعْطِي دَرَاهِمَ - يَعْنِي
فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ - قَالَ: أَخَافُ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ خِلَافُ سُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari
Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh memberikan zakat fitri
dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad,
“Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat
menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka
meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal
Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada
beberapa orang yang menolak sunah dan mengatakan, ‘Fulan ini berkata demikian,
Fulan itu berkata demikian.” (Al-Mughni, Ibnu
Qudamah, maktabah syamila juz 3:87)
-. وَقَالَ
أَبُو طَالِبٍ، قَالَ لِي أَحْمَدُ لَا يُعْطِي قِيمَتَهُ، قِيلَ لَهُ: قَوْمٌ يَقُولُونَ،
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ يَأْخُذُ بِالْقِيمَةِ، قَالَ يَدَعُونَ قَوْلَ
رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَيَقُولُونَ قَالَ فُلَانٌ،
قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-. وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ} [النساء:
59] . وَقَالَ قَوْمٌ يَرُدُّونَ السُّنَنَ: قَالَ فُلَانٌ، قَالَ فُلَانٌ. وَظَاهِرُ
مَذْهَبِهِ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ إخْرَاجُ الْقِيمَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ الزَّكَوَاتِ.
وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ وَقَالَ الثَّوْرِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ.
وَقَدْ رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالْحَسَنِ، وَقَدْ رُوِيَ
عَنْ أَحْمَدَ مِثْلُ قَوْلِهِمْ، فِيمَا عَدَا الْفِطْرَةَ.
Zahir mazhab Imam Ahmad, beliau berpendapat bahwa
pembayaran zakat fitri dengan nilai mata uang itu tidak sah.
Beberapa perkataan ulama lain:
·
Syekhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan
bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah dengan
bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
·
Taqiyuddin
Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri harus
berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada
perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar,
1:195)
·
An-Nawawi
mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat
fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al-Majmu’)
·
An-Nawawi
mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut mazhab
kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)
·
Asy-Syairazi
Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat
karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana
yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan
selainnya. Sebagaimana berkurban, ketika Allah kaitkan
hal ini dengan binatang ternak, maka tidak boleh menggantinya dengan selain
binatang ternak.” (Al-Majmu’)
·
Ibnu
Hazm mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama
sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran
dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah
membayar dengan nilai mata uang sama sekali karena semua itu tidak diwajibkan
(diajarkan) Rasulullah.” (Al-Muhalla bi Al-Atsar,
3:860)
·
Asy-Syaukani
berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali jika tidak
memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As-Sailul
Jarar, 2:86)
Di
antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah
Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi, dan yang
lain. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain
makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan
darurat, karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan
dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka
membayar zakat fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim,
hlm. 251)
Dalil-dalil
masing-masing pihak
Dalil
ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang:
1. Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar
bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka
tidak memiliki dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.
2. Istihsan (menganggap
lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat
untuk orang miskin daripada bahan makanan.
Dalil
dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang:
Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan
makanan.
·
Dari
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau
mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
zakat fitri, berupa satu sha’ kurma
kering atau gandum kering ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
·
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat
fitri, … sebagai makanan bagi orang miskin .…” (H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
·
Dari
Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu;
beliau mengatakan, “Dahulu, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, satu sha’ gandum,
satu sha’ kurma, satu sha’ keju, atau
satu sha’ anggur kering.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
- Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu, di
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan
makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan, “Dan makanan kami dulu adalah
gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (H.r. Al-Bukhari,maktabus-syamila no.1506)
- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا
مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدِ
بْنِ أَبِي سَرْحٍ العَامِرِيِّ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الخُدْرِيَّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: «كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ،
أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ،
أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat fitri dengan mata uang.
1.
Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.
Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat
fitri adalah jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan.
Seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fitri selain jenis yang telah
ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu yang ditetapkan.
Imam
Al-Haramain Al-Juwaini Asy-Syafi’i mengatakan, “Bagi mazhab kami, sandaran yang
dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada
Allah. Pelaksanaan semua perkara yang merupakan bentuk ibadah itu mengikuti
perintah Allah.” Kemudian beliau membuat permisalan, “Andaikan ada orang yang
mengatakan kepada utusannya (wakilnya), ‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini
tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada
barang yang lebih manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya.
Meskipun dia melihat hal itu lebih bermanfaat daripada perintah majikannya .
(Jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang
diberikan.) maka perkara yang Allah wajibkan melalui
perintah-Nya tentu lebih layak untuk diikuti.”
Harta
yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah
sebagaimana wakil. Sementara, wakil tidak berhak untuk bertindak di luar
batasan yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan
makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan
selain makanan, maka sikap ini termasuk bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan
hukuman. Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allah. Jangan
sekali-kali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah karena kewajiban
kita adalah taat sepenuhnya.
Oleh
karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana telah diketahui bersama, ibadah yang ditunaikan tanpa sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya
adalah ibadah yang tertolak.
2. Di
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan
dirham.
Akan
tetapi, yang Nabi praktikkan bersama para sahabat adalah pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan, bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang
paling memahami kebutuhan umatnya dan yang paling mengasihi fakir miskin.
Bahkan, beliaulah paling berbelas kasih kepada seluruh umatnya.
Allah
berfirman tentang beliau, yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat berbelas kasi lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.s. At-Taubah:128)
Dalil lengkap dapat liahat kitab-kitab kuning/
Maktabah Syamila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar